Senin, 28 September 2015

Tira dan Mita



Matahari sore itu menyadarkanku bahwa sebentar lagi malam akan segera tiba, aku melirik ke seluruh sudut kafe ini, namun belum juga menemukannya. Kulirik jam yang ada di pergelangan kananku, rupanya sudah dua jam aku menunggunya di sini ditemani secangkir green tea dan sepotong green tea cake favoritku.
“Maaf, menunggu lama” suara itu membuatku menoleh ke depan dia telah datang dan sedang berdiri tegap dihadapanku  dengan wajah merasa bersalah dan menyesal? Dia kemudian menarik kursi yang di depanku, hening. Tak ada percakapan di antara Kami, padahal jelas-jelas begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku yang ingin segera mendapat jawaban. “Kau dan dia?” akhirnya pertanyaan yang sudah bercokol lebih tiga hari itu, benar-benar keluar. Sosok dihadapanku ini terlihat terkejut, mungkin dia bingung dari mana aku mengetahui hal tersebut. Aku tersenyum jenis senyum mengejek, dia menghela nafas sebelum akhirnya jawaban itu keluar dari mulutnya. “Iya” jawaban singkat namun memiliki efek besar untukku dan sudah memperjelas, lalu selama ini aku tak berarti apa-apa begitu? Sungguh tega lelaki dihadapanku ini? “Selamat ya, aku pergi” selamanya dari hidupmu lanjutku dalam hati. Aku berusaha menahan tangisku namun ternyata gagal. Aku menangis dihadapan laki-laki yang berjanji bahwa ia akan melamarku di waktu matahari terbit di tempat pertama kali kita dipertemukan. Namun janji hanyalah janji perkataannya hanyalah omong kosong.
Aku mengambil dompet, mengeluarkan beberapa lembar uang dan menaruh di meja lalu secepatnya bergegas pergi, namun genggaman hangat itu menyuruhku untuk berhenti. “Demi Tuhan, Tira! Mita sakit dan dia membutuhkan aku, kumohon mengertilah” ucapnya dengan lemah aku menepis tangannya. “Aku mengerti Do, sangat mengerti maka dari itu aku akan melepaskanmu” ucapku setengah terisak aku ingin segera pergi dari sini, aku tidak ingin menjadi pusat perhatian dan aku juga tidak mungkin menyakiti kakak kandungku sendiri. Dari dulu orang tuaku lebih memperhatikan keadaan Mita –Kakakku- karena sejak dia lahir kondisi jantungnya lemah tidak sepertiku. Mita dan Tira itulah nama Kami, Kami kembar yang membedakan Kami hanyalah warna kulit, warna kulit Mita lebih pucat dibandingkan denganku. Aku menyayanginya sangat. Sudah satu tahun, aku memutuskan untuk tinggal di apartemen karena Oma Maya yang merawatku sejak kecil meninggal dunia, beliau yang membesarkanku ketika kedua orang tuaku lebih memilih Ka Mita. Aku iri? Tentu saja. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orangtuaku padahal mereka masih utuh. Dan tiga hari yang lalu aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan ya aku mendengar Ka Mita akan menikah dengan orang yang kusayang. Kita menyukai laki-laki yang sama, laki-laki bernama Edo tapi itulah yang terjadi. Padahal aku duluan yang mengenal Edo dia sahabatku sejak Taman Kanak-kanak.
“Kuharap kamu akan terus menjadi Tira yang kukenal, aku meyayangimu” ucap Edo, aku mengangguk pasti lalu tersenyum semanis mungkin. Siapa tau ada laki-laki tampan yang melihatnya dan langsung terpesona, aku terkikik sendiri. Edo berdehem menatapku aneh, aku nyengir lalu pamit pulang sepertinya aku memang harus membuang perasaanku ini jauh-jauh. “Selamat tinggal, Do” pamitku melangkah pergi dari kafe ini. Kadang Kita harus sanggup melepaskan orang yang Kita sayang demi orang yang Kita sayang juga.




To be continue


0 komentar:

Posting Komentar