21.07 -
Cerita
No comments
Cerita
No comments
Tira dan Mita
Matahari
sore itu menyadarkanku bahwa sebentar lagi malam akan segera tiba, aku melirik
ke seluruh sudut kafe ini, namun belum juga menemukannya. Kulirik jam yang ada
di pergelangan kananku, rupanya sudah dua jam aku menunggunya di sini ditemani
secangkir green tea dan sepotong green tea cake favoritku.
“Maaf,
menunggu lama” suara itu membuatku menoleh ke depan dia telah datang dan sedang
berdiri tegap dihadapanku dengan wajah
merasa bersalah dan menyesal? Dia kemudian menarik kursi yang di depanku,
hening. Tak ada percakapan di antara Kami, padahal jelas-jelas begitu banyak
pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku yang ingin segera mendapat jawaban. “Kau
dan dia?” akhirnya pertanyaan yang sudah bercokol lebih tiga hari itu,
benar-benar keluar. Sosok dihadapanku ini terlihat terkejut, mungkin dia
bingung dari mana aku mengetahui hal tersebut. Aku tersenyum jenis senyum
mengejek, dia menghela nafas sebelum akhirnya jawaban itu keluar dari mulutnya.
“Iya” jawaban singkat namun memiliki efek besar untukku dan sudah memperjelas,
lalu selama ini aku tak berarti apa-apa begitu? Sungguh tega lelaki dihadapanku
ini? “Selamat ya, aku pergi” selamanya dari hidupmu lanjutku dalam hati. Aku
berusaha menahan tangisku namun ternyata gagal. Aku menangis dihadapan
laki-laki yang berjanji bahwa ia akan melamarku di waktu matahari terbit di
tempat pertama kali kita dipertemukan. Namun janji hanyalah janji perkataannya
hanyalah omong kosong.
Aku
mengambil dompet, mengeluarkan beberapa lembar uang dan menaruh di meja lalu
secepatnya bergegas pergi, namun genggaman hangat itu menyuruhku untuk
berhenti. “Demi Tuhan, Tira! Mita sakit dan dia membutuhkan aku, kumohon
mengertilah” ucapnya dengan lemah aku menepis tangannya. “Aku mengerti Do,
sangat mengerti maka dari itu aku akan melepaskanmu” ucapku setengah terisak
aku ingin segera pergi dari sini, aku tidak ingin menjadi pusat perhatian dan
aku juga tidak mungkin menyakiti kakak kandungku sendiri. Dari dulu orang tuaku
lebih memperhatikan keadaan Mita –Kakakku- karena sejak dia lahir kondisi
jantungnya lemah tidak sepertiku. Mita dan Tira itulah nama Kami, Kami kembar
yang membedakan Kami hanyalah warna kulit, warna kulit Mita lebih pucat
dibandingkan denganku. Aku menyayanginya sangat. Sudah satu tahun, aku
memutuskan untuk tinggal di apartemen karena Oma Maya yang merawatku sejak
kecil meninggal dunia, beliau yang membesarkanku ketika kedua orang tuaku lebih
memilih Ka Mita. Aku iri? Tentu saja. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang
kedua orangtuaku padahal mereka masih utuh. Dan tiga hari yang lalu aku
memutuskan untuk pulang ke rumah dan ya aku mendengar Ka Mita akan menikah
dengan orang yang kusayang. Kita menyukai laki-laki yang sama, laki-laki
bernama Edo tapi itulah yang terjadi. Padahal aku duluan yang mengenal Edo dia
sahabatku sejak Taman Kanak-kanak.
“Kuharap
kamu akan terus menjadi Tira yang kukenal, aku meyayangimu” ucap Edo, aku
mengangguk pasti lalu tersenyum semanis mungkin. Siapa tau ada laki-laki tampan
yang melihatnya dan langsung terpesona, aku terkikik sendiri. Edo berdehem
menatapku aneh, aku nyengir lalu pamit pulang sepertinya aku memang harus
membuang perasaanku ini jauh-jauh. “Selamat tinggal, Do” pamitku melangkah
pergi dari kafe ini. Kadang Kita harus sanggup melepaskan orang yang Kita
sayang demi orang yang Kita sayang juga.
To be
continue
0 komentar:
Posting Komentar